Tidak ada sebuah kebijakan pemerintah yang memiliki kepekaan sosial politik sangat tinggi seperti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Bedanya kalau zaman Orde Baru dulu pemerintah tidak ada kesan takut dan ragu-ragu untuk melakukannya. Sekarang bisa satu tahun untuk mengajinya sampai-sampai Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II diledek seperti “majelis taklim” karena kerjanya setiap hari cuma “mengaji” dan “mengaji”.
Memang keputusan politik seperti itu harus didukung DPR karena berada dalam format APBN. Namun ketegasan dan kecepatan mengambil keputusan sangat diperlukan karena kita sedang dihadapkan pada fluktuasi perekonomian global dan khususnya harga minyak dunia yang begitu tajam. Pertaruhannya besar karena menyangkut anggaran dan kita tak mau kebangkrutan anggaran pemerintah yang sekarang dialami negara-negara Eropa terjadi di sini.
Kenaikan harga BBM adalah sebuah keharusan kalau kita tidak makin terbebani dengan pembengkakan subsidi. Maklumlah harga minyak dunia cenderung meninggi sedangkan Indonesia sekarang sudah berada pada posisi net importer. Harga minyak Brent (standardisasi harga minyak yang bersumber dari laut utara) sampai akhir bulan lalu sudah mencapai 126 dolar AS per barel. Kalau tanpa kenaikan maka subsidi akan membengkak puluhan triliun rupiah sehingga membuat anggaran makin tak berdaya.
Sementara apabila ada kenaikan harga BBM Rp 1.500 per liter mulai 1 April 2012 nanti maka penghematan subsidinya bisa mencapai Rp 31,58 triliun lebih. Opsi inilah yang akhirnya dipilih pemerintah ketimbang opsi kedua yakni memberikan subsidi tetap Rp 2.000 per liter dengan risiko harga BBM berubah-berubah mengikuti perkembangan harga minyak dunia terutama harga minyak mentah Indonesia (ICP).
Lagi-lagi pilihan jatuh pada yang bisa meminimalkan risiko padahal opsi kedua bisa lebih baik dalam rangka mendidik masyarakat agar mulai bisa menyesuaikan diri dengan cepat apabila harga BBM berubah. Juga dalam jangka panjang haruslah bisa dihapuskan subsidi dalam bentuk apa pun termasuk untuk BBM. Dengan demikian anggaran pemerintah akan lebih besar yang diarahkan untuk pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan sektor-sektor lain yang strategis serta berkaitan langsung dengan kesejahteraan masyarakat.
Lebih Aman
Opsi pertama lebih aman dan bersifat transisi. Kenaikan terukur dan dampaknya bisa lebih mudah diukur pula. Tidak saja dampak ekonomi antara lain berupa inflasi namun juga risiko gejolak social politik yang mungkin ditimbulkan. Para penentang pemerintah dan kekuatan oposisi seperti biasa akan memanfaatkan momentum ini untuk menyerang pemerintah dan memperoleh gain politik dari sana.
Maka wajarlah apabila PDIP berseberangan dan tidak menyetujui kebijakan ini. Demikian juga dengan PKS yang tampaknya mencoba mencari keuntungan politik dari isu kenaikan harga BBM. Sementara itu demo antikenaikan harga BBM pasti akan merebak karena dorongan aktor-aktor politik di tanah air. Ini isu lama namun tetap seksi dan menarik karena efektif untuk menyentuh emosi masyarakat.
Tetapi seharusnya publik sudah menyadari bahwa ini bukan persoalan suka atau tidak suka atau baik atau buruk. Ini adalah pilihan satu-satunya. Bahkan dari dulu sudah sering dikatakan, yang namanya subsidi BBM juga banyak salah sasaran karena lebih banyak dinikmati justru oleh kelompok masyarakat yang mampu. Mereka yang mempunyai mobil dan motor adalah konsumen terbesar dan pemakan subsidi. Jadi, mengapa tidak berusaha mengalihkan subsidi itu untuk program-program yang lebih langsung memberi manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat berkemampuan rendah? Muncullah kemudian program seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) walaupun dalam praktiknya juga tidak gampang dan rawan kebocoran.
Yang paling berat adalah dampak multipliernya. Kenaikan harga BBM langsung diikuti kenaikan biaya transportasi minimal 30 persen. Kenaikan harga BBM ibarat peluit yang memberi komando bagi barang-barang dan jasa lain untuk menaikkan harganya. Maka laju inflasi tahun ini pun diperkirakan terdorong naik lagi hingga di atas 6 persen. Dengan asumsi pendapatan tetap, maka sebenarnya daya beli masyarakat menurun. Dan itu berarti menurun pula tingkat kesejahteraannya.
Para pegawai negeri sipil (PNS) sudah tenang karena dikompensasi dengan kenaikan gaji tetapi bagaimana dengan pegawai dan karyawan swasta yang belum tentu bisa memperoleh kenaikan pendapatan.
Politisasi Bukan Masanya
Politisasi kenaikan harga BBM sudah tidak masanya lagi karena kurang laku dijual. Masyarakat sudah mulai bisa menyesuaikan karena makin paham duduk persoalannya. Harga BBM tidak selalu naik melainkan pernah juga mengalami penurunan karena memang ketika itu harga minyak dunia merosot sehingga subsidi tak diperlukan lagi. Tahun 2008 misalnya, harga BBM sudah pernah melonjak menjadi Rp 6.000 per liter kemudian menurun menjadi Rp 4.500 dan sekarang harga akan kembali ke posisi itu lagi.
Dampak multiplier bisa dikurangi dan mekanisme pasar akan bekerja dengan sendirinya. Bukan waktunya lagi bagi pengusaha untuk mencoba mengail di air keruh dengan menaikkan harga jauh lebih tinggi dari tingkat yang wajar untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Sekarang sudah ada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang bisa ikut mengawasi. Namun lebih dari itu kompetisi pasar yang ketat serta keterbatasan daya beli masyarakat akan dengan sendirinya mengendalikan nafsu-nafsu seperti itu.
Bahkan bukan tidak mungkin banyak perusahaan yang akan memberi “subsidi” ke masyarakat dengan menekan kenaikan harga barang dan jasanya agar tetap mempunyai daya penetrasi yang kuat. Karena kalau sampai terjadi penurunan omset akan memukul kondisi keuangan perusahaan. Padahal pada saat yang sama pastilah ada kebutuhan dan tekanan untuk menaikkan gaji karyawan.
Politisasi kenaikan harga BBM tidak akan laku namun pemerintah dan para elite politik tetap perlu mewaspadai agar tidak sampai terjadi aksi penolakan yang meluas tetapi sebenarnya tanpa dasar yang kuat. Karena ini sudah masuk ranah politik maka pertimbangan-pertimbangan rasional menjadi dikaburkan. Hanya kalau sampai terjadi justru bisa membuang energi untuk sesuatu yang kontraproduktif. Lebih baik merundingkan segala sesuatunya menyangkut dampak kenaikan harga BBM ini di setiap sektor. Kalau perlu dimintakan kompensasi lain berupa kebijakan atau beleid ekonomi dari pemerintah agar pengusaha tetap mempunyai daya saing. Terutama mereka yang mengekspor.
Yang bisa membuat emosi masyarakat mudah terbakar adalah kenyataan masih banyaknya korupsi anggaran yang dilakukan aparat pemerintah. Dalam banyak modus juga berkolaborasi dengan wakil rakyat sehingga muncul istilah korupsi berjamaah. Artinya letupan emosi itu sesungguhnya tidak persis karena kenaikan harga BBM namun memanfaatkan momentum ini untuk mengungkapan kekesalan atas kebobrokan birokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar